"Hiduplah Indonesia Raya"

Susy Susanti Mengisi Tajuk Utama Harian Kompas pada Tahun 1992 (Foto: Dok. SPORTSCAPES - A Collection of Kompas Newspaper Photographs)
Susy Susanti Mengisi Tajuk Utama Harian Kompas pada Tahun 1992 (Foto: Dok. SPORTSCAPES - A Collection of Kompas Newspaper Photographs)
Nasional ‐ Created by EL

Jakarta | Sudah lebih dari 92 tahun berlalu sejak lagu "Indonesia Raya" didengarkan melalui gesekan biola Wage Rudolf Supratman di muka khalayak yang menghadiri Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Alunan instrumental lagu kebangsaan itu telah melintas zaman, hadir di berbagai kesempatan, termasuk saat penyerahan medali emas Olimpiade, pesta olahraga dunia terbesar yang digelar saban empat tahun.

Lagu ciptaan komponis kelahiran Purworejo itu kerap menggetarkan hati para atlet, ofisial, serta para penonton --terlebih ketika berada di luar negeri--, saat mengiringi Merah Putih yang dikerek ke ujung atas tiang bendera. Tak sedikit di antara mereka yang kesulitan membendung air mata yang menitik. Mereka menangis haru bercampur bangga dengan Tanah Airnya.

Pengalaman serupa yang dialami Presiden Joko Widodo, sebagaimana diceritakannya kepada Greysia Polii dan Apriyani Rahayu melalui panggilan video, tak lama setelah dua atlet bulu tangkis Indonesia itu berdiri di podium teratas Tokyo 2020. "Saya betul-betul seneng banget. Jujur, ya. Jujur, saya sangat bangga. Apalagi waktu 'Indonesia Raya' berkumandang," tutur Kepala Negara.

Bulu tangkis mempunyai makna besar bagi masyarakat Indonesia sebagai salah satu cabang olahraga kebanggaan nasional yang memiliki prestasi internasional. Sejarah di arena Olimpiade mencatat, "Indonesia Raya" telah dinyanyikan sebanyak delapan kali. Simbol negara itu hanya satu kali "absen" dilantunkan sejak kali pertama bulu tangkis dipertandingkan pada tahun 1992.

Di kancah Olimpiade, Merah Putih kali pertama berkibar tinggi dengan diiringi "Indonesia Raya" setelah Susy Susanti meraih emas tunggal putri di Barcelona 1992. Keesokan harinya, giliran Alan Budikusuma di tunggal putra. Kemudian di Atlanta 1996, emas ganda putra diraih Ricky Subagja/Rexy Mainaky, berlanjut dengan Candra Wijaya/Tony Gunawan di Sydney 2000. Nomor tunggal putra meneruskan tradisi emas di Athena 2004 melalui Taufik Hidayat.

Pada Olimpiade Beijing 2008, ganda putra kembali menyumbang emas melalui Hendra Setiawan dan Markis Kido (almarhum). Cabang bulu tangkis gagal mempersembahkan medali di London 2012. Tradisi medali emas berlanjut ketika di Rio de Janeiro 2016, ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menundukkan Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (Malaysia) di final. Ini sekaligus emas pertama Indonesia dari ganda campuran.

Di Tokyo 2020, meski pesta olahraga dunia itu sempat tertunda satu tahun, tradisi medali emas tetap berlanjut berkat perjuangan Greysia/Apriyani. Berkat keberhasilan mereka, ganda putri akhirnya melengkapi koleksi medali emas Olimpiade bagi Indonesia di semua nomor.

"Indonesia Raya" telah melintas zaman. Selalu mengiringi proses pengibaran Merah Putih di gang-gang sempit di berbagai sudut kota, Istana Negara, hingga gelanggang olahraga internasional. Selalu saksama didengar dan dilantunkan oleh bangsa Indonesia, sejak mengalun di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, pada tahun 1928. Berkumandang dan bakal terus berkumandang.

Dirgahayu Republik Indonesia!