Pada masa itu, Susy sukses mengalungkan medali emas Olimpiade usai menundukkan wakil Korea, Bang Soo Hyun dengan skor 5-11, 11-5 dan 11-3. Sebelum akhirnya menang, Susy sempat dibuat berpikir keras atas kekalahannya di game pertama. Padahal, cerita Susy, bila dilihat dari catatan pertemuan, ia memiliki rekor yang baik setiap kali bentrok dengan Hyun. Daya pikirnya berkerja lebih keras dari sebelumnya saat memulai permainan di game pertama. Maklum saja, saat itu, pemain tidak boleh didampingi pelatih dari pinggir lapangan saat bertanding.
“Jangankan mendampingi, kalau teriak saja dari bangku penonton, bisa disuruh keluar stadion. Jadi benar-benar harus berpikir sendiri. Lalu saya coba, dan akhirnya bisa ke game ketiga. Dari sini saya mulai yakin, saya lebih unggul fisiknya, dia nggak pernah menang lawan saya kalau rubber game. Ibaratnya saya ini mesin diesel, makin lama, makin panas,” cerita Susy Susanti.
Usai merebut medali emas Olimpiade pertama untuk Indonesia, bukan haru dan bangga yang pertama kali menyelimuti perasaan Susy saat itu. Perasaan lega menjadi hal pertama yang diluapkan Susy karena sudah berhasil melepaskan semua beban yang ia rasakan selama enam tahun persiapan menuju Olimpiade.
“Saya kalau juara nggak pernah selebrasi, rasanya di Olimpiade itu pertama kalinya saya juara langsung teriak. Rasanya beban dan tanggungjawab saya lepas semua. Bayangkan pressure-nya, semua orang yang ketemu saya sebelum Olimpiade selalu bilang, Susy harus juara, ya!” tuturnya.
Saat menaiki podium juara dan mendengarkan lagu kebangsaan, barulah Susy merasa haru dan bangga bisa mempersembahkan emas kepada Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah Olimpade. Susy pun tak kuasa menahan air matanya yang seketika menetes ketika Sang Saka Merah Putih dikibarkan dan Indonesia Raya dikumandangkan.
“Kemenangan di Olimpiade itu beda dengan di kejuaraan lain. Rasanya prestasi kita itu diakui dunia. Kita juga bisa mengangkat nama Indonesia di mata dunia. Saya ingat waktu sebelum juara, di athelete village kan banyak yang koleksi pin antar negara, tapi nggak ada yang mau tukeran pin Indonesia sama saya,” ungkapnya.
“Katanya dia tidak tahu Indonesia. Indonesia itu di mananya Bali? Begitu katanya. Sedih juga waktu itu. Tapi begitu saya dan Alan (Budikusuma) dapat emas dan Indonesia ada di urutan 21 daftar raihan medali, tanpa kita minta, mereka malah nyariin, mau tukeran pin Indonesia. Dampaknya sampai begitu, orang lebih mengenal Indonesia,” lanjutnya menceritakan.
Lebih lanjut Susy menuturkan, memenangkan medali emas di ajang Olimpiade tidaklah semudah meraih juara di turnamen lain. Pasalnya, sedari babak awal, setiap atlet akan merasakan aura yang berbeda di ajang multievent terbesar seantero bumi itu.
Sementara itu, Susy juga menceritakan hal menarik yang dialaminya pada satu hari sebelum partai puncak berlangsung. Menurut Susy, malam sebelum final adalah moment paling berat yang dirasakannya. Saat itu ia tidak bisa tidur dan makan. Rasanya lanjut Susy, ingin laga final segera cepat berlalu, karena begitu besarnya beban dan tekanan yang ia rasakan.
“Perasaan malam itu mata saya sudah dipejamkan, tapi tetap nggak bisa tidur, otaknya mikir terus. Makan pun dipaksa demi jaga kondisi, padahal nggak nafsu makan sama sekali. Akhirnya malam itu saya cuma makan nasi pakai abon dan ikan asin, sama minum segelas susu. Mau tidur pun sampai bolak-balik, ke kamar, lalu ke luar lagi, begitu terus sampai tengah malam. Ketegangan ini harus diatasi, jangan sampai merugikan kita, harus bisa diatur,” bebernya.
Selain itu, Susy juga meminta agar dirinya tidak diganggu sebelum pertandingan karena terkadang ada saja yang ingin bertemu atlet sebelum tanding. Menurutnya hal ini bisa mengganggu persiapan serta konsentrasi atlet.
“Tiap atlet punya kebiasaan yang berbeda sebelum tanding, ada yang denger musik, ada yang menyendiri, ada yang berdoa. Kalau banyak ketemu orang, ada saja yang bilang, harus juara ya, harus dapat emas ya. Tiap pesan itu diterimanya berbeda juga sama tiap atlet, saya pernah mengalami ini jadi saya tahu rasanya. Makanya sekarang, ini yang saya lakukan sama atlet, lebih dijaga sebelum masuk lapangan,” katanya.
Setelah sukses meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992, semangat Susy tak lantas padam. Ia tetap bertekad untuk mengulang sukses di pesta olahraga terbesar dunia empat tahunan itu. Empat tahun berselang, yakni Olimpiade Atlanta 1996, Susy meraih medali perunggu. Susy mengatakan bahwa ia tak pernah cepat puas akan apa yang sudah ia raih. Karena ia selalu punya keinginan dan target melebihi prestasi yang telah diraihnya.
“Kalau sudah pernah dapat emas Olimpiade satu kali, saya tetap mau lagi. Kalau bisa dua kali kenapa tidak? Semangat ini yang bikin saya bertahan dan lolos lagi ke Olimpiade empat tahun kemudian. Waktu tahu Li Lingwei punya rekor menang World Cup terbanyak, yaitu empat kali, saya mau juga rekor begitu. Lalu saya lewati rekornya dan juara World Cup lima kali,” papar Susy.
Susy berharap sedikit penggalan kisah serta pengalamannya ini bisa menjadi motivasi dan suntikan semangat bagi para pebulutangkis Indonesia yang akan berlaga di Olimpiade Tokyo 2020 nanti. Kesiapan mental disebutkan Susy, menjadi bekal utama bagi atlet yang berlaga di arena Olimpiade. Di ajang empat tahunan tersebut, atlet tak hanya berhadapan dengan lawan, tapi juga harus bisa mengalahkan situasi dan diri sendiri.